A. Pengertian Etika Politik
Secara substantive pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik berkait erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian ‘moral’ senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika. Maka kewajiban moral dibedakan dengan pengertian kewajiban-kewajiban lainnya, karena yang dimaksud adalah kewajiban manusia sebagai manusia. Walaupun dalam hubungannya dengan masyarakat, bangsa maupun Negara, etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan senantiasa didsarkan kepada hakekat manusia sebagai makhluk yang beradab dan berbudaya. Berdasarkan suatu kenyataan bahwa masyarakat, bangsa maupun negara bias berkembang kearah keadaan yang tidak baik dalam arti moral. Misalnya suatu negara yang dikuasai oleh penguasa atau rezim yang otoriter, yang memaksakan kehendak kepada manusia tanpa memperhitungkan dan mendasarkan kepada hak-hak dasar kemanusiaan. Dalam suatu masyarakat negara yang demikian ini maka seorang yang baik secara moral kemanusiaan akan dipandang tidak baik menurut negara serta masyarakat otoriter, karena tidak dapat hidup sesuai dengan aturan yang buruk dalam suatu masyarakat negara. Oleh karena itu aktualisasi etika harus senantiasa mendasarkan kepada ukuran harkat dan martabat manusia sebagai manusia (Suseno, 1987:15). Sejak abad ke-17 filsafat mengembangkan pokok-pokok etika politik seperti :
1. Perpisahan antara kekuasaan gereja dan kekuasaan negra (John Locke)
2. Kebebasan berfikir dan beragama (Locke)
3. Pembagian kekuasaan (Locke, Montesque)
4. Kedaulatan rakyat (Roesseau)
5. Negara hukum demokratis/repulikan (Kant)
6. Hak-hak asasi manusia (Locke, dsb)
7. Keadilan sosial
Tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil (Paul Ricoeur, 1990). Definisi etika politik membantu menganalisa korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Penekanan adanya korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya sekadar etika individual perilaku individu dalam bernegara. Pengertian etika politik dalam perspektif Ricoeur mengandung tiga tuntutan, pertama, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain…; kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan…, ketiga, membangun
institusi-institusi yang adil. Tiga tuntutan itu saling terkait. “Hidup baik bersama dan untuk orang lain” tidak mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup baik tidak lain adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan dengan menghindarkan warganegara atau kelompok-kelompok dari saling merugikan. Sebaliknya, kebebasan warganegara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil. Pengertian kebebasan yang terakhir ini yang dimaksud adalah syarat fisik, sosial, dan politik yang perlu demi pelaksanaan
kongkret kebebassan atau disebut democratic liberties: kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan sebagainya.
Dalam definisi Ricoeur, etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual saja, tetapi terkait dengan tindakan kolektif (etika sosial). Dalam etika individual, kalau orang mempunyai pandangan tertentu bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Sedangkan dalam etika politik, yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warganegara karena menyangkut tindakan kolektif. Maka hubungan antara pandangan hidup seseorang dengan tindakan kolektif tidak langsung, membutuhkan perantara. Perantara ini berfungsi menjembatani pandangan pribadi dengan tindakan kolektif. Perantara itu bisa berupa simbol-simbol maupun nilai-nilai: simbol-simbol agama, demokrasi, dan nilai-nilai keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan sebagainya. Melalui simbol-simbol dan nilai-nilai itu, politikus berusaha meyakinkan sebanyak mungkin warganegara agar menerima pandangannya sehingga mendorong kepada tindakan bersama. Maka politik disebut seni karena membutuhkan kemampuan untuk meyakinkan melalui wicara dan persuasi, bukan manipulasi, kebohongan, dan kekerasan. Etika politik
akan kritis terhadap manipulasi atau penyalahgunaan nilai-nilai dan simbol-simbol itu. Ia berkaitan dengan masalah struktur sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang dapat mengkondisikan tindakan kolektif.
B. Penerapan Etika Politik di Indonesia
Ada dasar yang fundamental dalam memfungsikan sistem politik yang memadai. Beberapa saran penerapan etika politik di Indonesia, adalah sebagai berikut.
- Pertama, membuat masyarakat menjadi kritis.
Franklyn Haiman (1958) mensyaratkan adanya peningkatan kapasitas rasional manusia.
Upaya persuasi seperti kampanye politik, komunikasi pemerintah, periklanan, dan lain-lain, merupakan suatu teknik untuk memengaruhi penerima dengan menghilangkan proses berfikir sadarnya dan menanamkan sugesti atau penekanan pada kesadaran, agar menghasilkan perilaku otomatis yang tidak reflektif. Seruan motivasional dan emosional juga kerap digunakan dalam mempengaruhi rasional massa. Pemilihan kata, kerap tidak mempertimbangkan rasa keadilan. Habermas (1967) mengatakan bahwa bahasa juga merupakan sarana dominasi dan kekuasaan. Monopoli pada pilihan kata, terutama karena akses ruang publik lebih terbuka pada politisi, menimbulkan peluang penyimpangan kepentingan. Upaya penggerakan logika instant ini tidak etis. Intinya, seorang politisi yang berusaha diterima pandangannya secara tidak kritis, dia juga dapat dipandang sebagai pelanggar etika politik yang ideal. Jadi manusia harus diajar berfikir, menganalisa dan mengevaluasi informasi dengan rasio dan mampu mengontrol emosinya. Dengan demikian dapat menghasilkan suatu pemikiran terbaik dengan analisa kritis.
- Kedua, mengembangkan kebiasaan meneliti.
Semua pihak: masyarakat (melalui LSM), media massa, perguruan tinggi, politisi atau penguasa, sebaiknya mengembangkan kebiasaan meneliti. Peningkatan rasionalitas pada masyarakat selayaknya dibarengi dengan kemauan politisi dalam bersikap adil ketika memilih dan menampilkan fakta dan data secara terbuka. Pengetahuan tentang realitas sebaiknya mencerminkan kenyataan real yang dibutuhkan. Informasi yang ditampilkan adalah informasi yang paling relevan dan selengkap mungkin memfasilitasi kemampuan rasional publik. Dan data yang dibutuhkan masyarakat, tidak boleh diselewengkan atau disembunyikan. Ketika banyak pihak terbiasa meneliti dan terekspos oleh data, penyelewengan data akan berkurang. Keterbukaan akses informasi ini, memfasilitasi masyarakat, mengamati politisi dalam membuat keputusan yang akurat. Bagi politisi sendiri, ada baiknya mempertimbangkan peringatan Wallace untuk menanyakan hal ini pada diri sendiri, ”Apakah saya memberi kesempatan khalayak saya untuk membuat pernilaian dengan adil, tanpa menutup-nutupi data?”.
- Ketiga, kepentingan umum daripada pribadi atau golongan.
Politisi hendaknya mengembangkan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi atau golongan. ”Motif pribadi atau golongan, atas kesempatan dan kepercayaan yang diberikan kolektif oleh publik, sungguh suatu tindakan tercela”. Pertanyaan yang dapat diangkat adalah: ”Apakah saya melupakan amanah yang telah diberikan oleh khalayak pada saya?” Ajakan suci ini memang membutuhkan gerakan hati dari politisi. Dan hati adalah ranah personal dari seorang individu. Namun, masyarakat memiliki hak sebagai eksekutor. Ada atau tidak adanya politisi tersebut duduk di singasana politik. Meski butuh waktu lima tahunan.
- Keempat, menghormati perbedaan.
Etika politik juga dapat dilaksanakan dengan menghormati perbedaan pendapat dan argumen. Meski diperlukan adanya kerjasama dan kompromi, nilai dasar hati nurani, perlu menjadi batasan pembuatan kebijakan. Menurut Wallace, ”Kita tidak perlu mengorbankan prinsip demi kompromi. Kita harus lebih suka menghadapi konflik daripada menerima penentraman” ini merupakan hal yang penting karena secara budaya, Indonesia adalah negara kolektifis yang kerap mementingkan harmonisasi. Bagi masyarakat, keaktifan dalam berekspresi dan mengungkapkan pendapat sebaiknya disambut dengan lebih aktif memanfaatkan ruang publik yang tersedia. Bagi politisi, ada baiknya memperhatikan pertanyaan Wallace ini: ”Bisakah saya dengan bebas mengakui kekuatan dan bukti serta argumen yang bertentangan dan masih mengajukan sebuah pendapat yang menampilkan keyakinan saya?”
- Kelima, penerapan hukum.
Penerapan etika politik sebaiknya didasari hukum. Masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok yang mungkin sekali mempunyai kepentingan berlawanan. Politisi, dibantu oleh pengawasan masyarakat, sebaiknya mampu memfasilitasi dan mengatur kepentingan-kepentingan kelompok dengan membangun institusi-institusi yang adil. Pengeksklusifan pada suatu kelompok dapat membuahkan keberuntungan bagi yang satu dan kemalangan bagi yang lain. Pengelolaan hukum dengan prosedur yang baik, dapat mengontrol dan menghindarkan semaksimal mungkin penyalahgunaan. Keadilan tidak diserahkan kepada politisi, tapi dipercayakan kepada prosedur yang memungkinkan pembentukan sistem hukum yang menjamin pelaksanaan keadilan. Jadi ketika politisi melakukan pelanggaran, prosedur hukum secara otomatis dan transparan, dapat diberlakukan pada politisi, tanpa adanya rekayasa.
- Keenam,mengurangi privasi.
Salah satu upaya pelaksanaan etika politik, menurut Dennis F Thompson (1987), adalah dengan mengurangi privasi pejabat negara. Menurutnya, para pejabat sesungguhnya bukan warga negara biasa. Mereka memiliki kekuasaan atas warga negara, dan bagaimanapun, mereka merupakan representasi dari warga negara. Perbedaan-perbedaan signifikan antara pejabat negara dan warga negara membuat berkurangnya wilayah kehidupan pribadi (privacy) para pejabat negara. Karenanya, privacy pejabat negara tidak harus dijaga, bila perlu dikorbankan untuk menjaga keutuhan demokrasi dan menjaga kepercayaan warga negara. Kebijakan-kebijakan politik yang diambil, sebesar dan atau seluas apa pun, sedikit banyak, berpengaruh bagi kehidupan warga negara. Jadi layaklah bila masyarakat tahu secara detail, mengenai kehidupan pejabat-pejabat negara. Pengetahuan tersebut merupakan bagian dari garansi dan kontrol publik yang membuat warga negara menaruh kepercayaan pada pejabat negara yang telah dipilihnya. Warga negara harus punya keyakinan bahwa pejabat negara yang dipilihnya benar-benar memiliki fisik yang sehat dan pribadi yang jujur. Meski orang mungkin berubah, namun perlu ada jaminan awal bahwa politisi tersebut berpotensi untuk tidak mempergunakan kekuasaan dan kewenangan untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompoknya.
- Ketujuh,
Penerapan etika politik dapat berjalan dengan mulus, bila semua pihak menyandarkan keyakinan pada agama. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, hendaklah menjadi jiwa dalam kehidupan tiap individu. Etika dan moral politisi akan rusak ketika tidak dihubungkannya agama dengan politik. Padahal, keduanya adalah satu kesatuan integral bagai jiwa dan raga. Iman, adalah percaya pada Tuhan Yang Maha Esa. Bila politisi mempercayakan diri pada Tuhan sebagai pemilik dirinya, tempat kembalinya, pengatur manusia, pemberi amanah, penguasa keputusan hidup dan tempat berawal dan berakhirnya segala sesuatu, diharapkan setiap politisi memiliki arahan yang terbenar.
- Kedelapan, terbukanya ruang publik.
Perlu diperbanyak ruang publik yang memberi kesempatan politisi dan masyarakat saling berkomunikasi. Contohnya wadah seperti the Fatwa Center (tFC), yang merupakan salah satu upaya real menyediakan akses bagi interaksi tadi. Terbukanya kesempatan berbagi antartokoh, politisi, media, akademisi, birokrat, mahasiswa dan masyarakat lainnya memberi penyegaran-penyegaran edukatif pada semua pihak. Selain itu mengurangi prasangka atau peluang terjadinya pelanggaran etika politik. Wadah seperti The Fatwa Center juga diharapkan:
1) Dapat memberi ruang terbuka pada peningkatan rasional dan daya kritis publik.
2) Mempersiapkan calon politisi untuk menjadi politisi beretika,
3) Mengingatkan politisi untuk beretika.
Semua pihak akan diuntungkan. Politisi yang beretika, diuntungkan dengan adanya masyarakat yang terdidik. Masyarakat juga diuntungkan, dengan politisi yang beretika. Pada masyarakat yang tidak terpelajar, maka politisi yang tidak beretika masih tetap ada. Ongkos sosial juga tinggi, diantaranya: banyaknya intrik, masyarakat dikorbankan, kemajuan Indonesia juga tidak signifikan.
C. Analisis Kebijakan Kenaikan BBM (Pro)
Kenaikkan BBM!!
Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang dilakukan oleh pemerintah menimbulkan berbagai spekulasi serta penolakan dari berbagai kalangan masyarakat. Berbagai masyarakat bahkan banyak mahasiswa yang melakukan aksi protes atas tindakan pemerintah untuk menaikkan harga bbm dengan cara mendemo agar BBM bersubsidi tidak jadi dinaikkan. Kontrofersi kenaikan BBM ini sudah menjadi rutinitas tahunan bagi pemerintah, bukan kali ini saja harga bbm mengalami kenaikan, pada tahun-tahun sebelumnya kasus ini juga sudah terjadi. Alasan pemerintah menikkan harga BBM bersubsidi bukanlah untuk menambah penderitaan bagi rakyatnya, namun justru pemerintah ingin menyelamatkan perekonomian rakyat. Kebutuhan akan bahan bakar minyak sangatlah tinggi, namun pada kenyataannya produksi minyak kita masih terbatas. Pemerintah juga tidak serta merta hanya asal menaikkan harga bbm dan tidak memikirkan nasib rakyat yang tidak mampu atau dapat dikatakan miskin, namun banyak program pemerintah yang memberikan kompensasi bagi rakyatnya yang tidak mampu seperti program Kartu Sakti yang terdiri Kartu Indonesia Pintar yang diperuntukkan bagi para anak bangsa yang berprestasi namun tidak mampu untuk mengenyam pendidikin, Kartu Indonesia Sehat bagi warga yang kurang mampu agar dapat mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik, Kartu Keluarga Sejahtera, selain itu pemerintah juga memberikan Kredit Usaha Rakyat yang dapat memberikan pinjaman modal bagi rakyat, dan berbagai program pemerintah lainnya.
Pemerintah memberikan pernyataan bahwa “70% subsidi BBM dinikmati oleh orang kaya yang bermobil” dan bukanlah rakyat lainnya, dengan adanya kenaikkan harga BBM bersubsidi setidaknya dapat menurunkan tingkat produktifitas volume kendaraan yang semakin tinggi yang juga menimbulkan kemacetan yang cukup parah. Sebagai masyarakat sebaiknya kita tidak hanya melihat dari sisi sebelah atas tindakan pemerintah dalam menaikkan harga bbm bersubsidi ini saja, cobalah kita melihat dari sisi positifnya seperti dengan adanya kenaikan BBM volume kendaraan yang sudah cukup banyak ini dapat berkurang, kendaraan umum kembali diminati oleh masyarakat sehingga tidak menimbulkan kemacetan panjang lagi, selain itu dengan berkurangnya volume kendaraan ini dapat melindungi bumi kita dari yang namanya pemanasan global (Global Warming) karena hamper sekitar 40% penyebab dari pemanasan global ini ditimbulkan dari asap-asap kendaraan. Pemerintah mengartikan apabila anggaran subsidi BBM ditekan maka aka nada ruang viskal yang lebih besar untuk program kerja yang lain dengan adanya penekanan anggaran subsidi ini akan dialihkan kepada sektor yang lebih produktif seperti subsidi pestisida (pupuk) pada petani, subisidi mesin dan solar pada nelayan, serta sektor mikro menengah. Hal yang dilakukan oleh pemerintah ini hanya untuk menyelamatkan perekonomian negara dan demi kemajuan bangsa, selain itu kenaikkan ini juga banyak memberikkan dampak positif kedepannya bagi bangsa.